Tuesday, April 29, 2014

IESQ



INTELLEGENCE EMOTIONAL SPIRITUAL QUOTIEN
DISUSUN OLEH
Nama         : SEA PARADISE
NIM  : C1013071
KELAS 1B S1 ILMU KEPERAWATAN


MATA KULIAH : IKD II (PSIKOLOGI PENGEMBANGAN)
DOSEN PEMBIMBING : ESSY PRAVIRA
STIKES BHAKTI MANDALA HUSADA SLAWI
Jl. Cut Nyak Dien Kalisapu slawi Kab. Tegal
Telp.(0283) 6197570,6197571
TAHUN 2013 / 2014





MIND MAPPING



KECERDASAN INTELEKTUAL (IQ)

A.      DEFINISI
Kecerdasan intelektual atau IQ mula-mula diperkenalkan oleh Alfred Binet, ahli psikologi dari Perancis pada awal abad ke – 20.
Pengertian kecerdasan intelektual (IQ) menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut :
1.    Sorenson (1977) : Kecerdasan interlektual (IQ) adalah kemampuan untuk berpikir abstrak, belajar merespon, dan kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan.
2.    Stern (1953) : Kecerdasan intelektual (IQ) adalah daya menyesuaikan diri dengan  keadaan baru dengan menggunakan alat-alat berpikir menurut tujuannya.
3.      Binet : mengatakan bahwa intelegensi adalah kemampuan untuk menetapkan dan mempertahankan suatu tujuan, untuk mengadakan penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan itu dan untuk bersikap kritis terhadap diri sendiri.
4.      Thorndike : “Intelegence is demonstrable in ability of the individual to make good responses from the stand point of truch of fact“. Orang dianggap memiliki kecerdasan intelektual apabila responnya merupakan respon yang baik atau sesuai terhadap stimulus yang diterimanya.
5.      Freeman (1959) : Kecerdasan intelektual dipandang sebagai capacity to integrate experiences, capacity to learn, capacity to perform tasks regarded by psychologist as intellectual and capacity to carry on abstract thinking. Orang yang memiliki kecerdasana intelektual  adalah orang yang memiliki kemampuan untuk menyatukan pengalaman-pengalaman, kemampuan untuk belajar dengan lebih baik, kemampuan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang sulit dengan memperhatikan aspek psikologis dan intelektual dan kemampuan untuk berpikir abstrak.

B.       FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
1.      Pengaruh faktor bawaan
Banyaknya penelitian yang menunjukkan bahwa individu-individu yang berasal dari satu keluarga atau bersanak saudara, nilai dalam tes IQ mereka berkorelasi tinggi (+ 0,50), orang yang lembar (+ 0,90), yang tidak bersanak saudara (+ 0,20), anak yang di adopsi korelasi dengan orang tua angkatnya (+ 0,10 – + 0,20).
2.      Pengaruh faktor lingkungan
Perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh gizi yang di konsumsi oleh karena itu ada hubungan antara pemberian makanan bergizi IQ seseorang.
3.      Stabilitasi kecerdasan Intelektual (IQ)
Stabilitasi IQ tergantung perkembangan organik otak.
4.      Pengaruh faktor kematangan
Tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Tiap organ (fisik maupun psikis) dapat dikatakan telah matang jika ia telah mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya.
5.      Pengaruh faktor pembentukan
Pembentukan ialah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan IQ.
6.      Minat dan pembawaan yang khas
Minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan  itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan-dorongan (motif-motif) yang mendorong manusia untuk berinteraksi dengan dunia luar.
7.      Kebebasan
Kebebasan berarti bahwa manusia itu dapat memilih metode-metode yang tertentu dalam memecahkan masalah-masalah. Manusia mempunyai kebebasan memilih metode, juga bebas dalam memilih masalah sesuai dengan kebutuhannya.

KECERDASAN EMOSIONAL (EQ)

A.      DEFINISI
Daniel Goleman (1999) adalah salah seorag yang mempopulerkan jenis kecerdasan manusia lainnya yang dianggap sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi terhadap prestasi seseorang, yaki kecerdasan emosional, yang kemudian kita mengenalnya dengan sebulan emosional Quotient (EQ). Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dnegan orang lain.
Para pakar memberikan definisi beragam pada EQ, diantaranya adalah kemampuan untuk menyikapi pengetahuan-pengetahuan emosional dalam bentuk menerima, memahami, dan mengelolanya.
Menurut definisi ini, EQ mempunyai empat dimensi berikut :
1.    Mengenal, menerima dan mengekspresikan emosi (kefasihan emosional) caranya mampu membedakan emosi orang lain, bentuk dan tulisan baik melalui suara, ekspresi wajah dan tingkah laku.
2.    Menyertakan emosi dalam kerja-kerja intelektual. Caranya perubahan emosi bisa mengubah sikap optimis menjadi pesimis. Terkadang emosi mendorong manusia untuk menerima pandangan dan pendapat yang beragam.
3.    Memahami dan menganalisa emosi. Mampu mengetahui perubahan dari satu emosi ke emosi lain seperti berubahnya dari emosi marah menjadi rela atau lega.
4.    Mengelola emosi. Mampu mengelola emosi sendiri atau orang lain dengan cara meringankan emosi negatif dan memperkuat emosi positif. Hal ini dilakukan denga tapa menyembuhkan informasi yang disampaikan oleh emosi-emosi ini dan tidak berlebihan.

B.       FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
Kecerdasan emosional bawaan bisa berkembag atau rusak, hal ini tergantung pada pengaruh yang diperoleh anak dimana kecil atau remaja. Pengaruh ini bisa datang dari orang tua, keluarga atau sekolah. Anak melalui hidupnya dengan potensi yang baik untuk perkembangan emosinya, hanya saja pengalaman emosi yang dialaminya di lingkungan anarkis atau tidak bersahabat menyebabkan grafik perkembangan EQnya menurun. Sebaliknya, bisa saja seorang anak mempunyai EQ bawaan yang rendah, namun Eqnya ini bisa berkembang dengan baik, jika ia dididik dengan baik melalui pengalaman-pengalaman emosional yang ramah dan bersahabat. Perilaku emosi cerdas yang diperlihatkan lingkungannya menyebabkan grafik Eqya menjadi tinggi.
KECERDASAN SPIRITUAL EMOSIONAL (SQ)

A.      DEFINISI
Zakiah Darajat (1970), pengalaman keagamaan (Religious Experience) merupakan pandangan bahwa sehebat apapun manusia dengan kecerdasan intelektual maupun kecerdasan emosionalnyan, pada saat-saat tertentu, melalui pertimbangan fungsi afektif, kognitif, dan konatifnya manusia akan menyakini dan menerima tanpa keraguan bahwa diluar dirinya ada sesuatu kekuatan yang maha Agung yang melebihi apapun, termasuk dirinya.
Brightman (1956) menjelaskan bahwa penghayatan keagamaan tidak hanya sampai kepada pengakuan atas keberadaan-Nya, namun juga mengaku-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang abadi yang mengatur tata kehidupan alam semesta raya ini. Oleh karena itu, manusia akan tunduk dan berupaya untuk mematuhinya dengan penuh kesadaran dan disertai penyerahan diri dalam bentuk ritual tertentu, baik secara individual maupun kolektif, secara simbodik maupun dalam bentuk nyata kehidupan sehari-hari.
Temua ilmiah yang digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, dan riset yang dilakukan oleh Mishael Persinger pada tahun 1990-an, serta riset yang dikembangkan oleh V.S Ramachandran pada tahun 1997 menemukan adanya God Spot dalam otak manusia, yang sudah secara built-in merupakan pusat spiritual yang terletak diantara jaringan syaraf dan otak. Pada God Spot inilah sebenarnya terdapat fitrah manusia yang terdalam. Kajian tentang God Spot inilah pada gilirannya melahirkan konsep kecerdasan spiritual, yakni suatu kemampuan manusia yang berkenaan dengan usaha memberikan penghayatan bagaimana agar hidup ini lebih bermakna. Dengan istilah yang disebut Spiritual Quotient (SQ).
Kecerdasan Spiritual (SQ) adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup  seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.

B.       FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
Kecerdasan spiritual (SQ) secara umum dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu keyakinan dalam diri, potensi diri, dan  kemauan dari diri tersebut. Selain faktor-faktor tersebut peran keluarga dalam membentuk dan meningkatkan serta membina kecerdasan spiritual ini sangat dibutuhkan. Apa yang keluarga tunjukan setiap harinya akan membentuk pribadi anak tersebut. Kondisi yang mendukung seorang anak dalam keluarga akan membuat kecerdasan spiritualnya terbentuk dan terbina dengan baik.

INDIKATOR DAN ALAT UKUR IQ, EQ DAN SQ.
                 Berdasarkan pengalaman, tidak ada indikator dan alat ukur yang jelas untuk mengukur atau menilai kecerdasan setiap individu, kecuali untuk kecerdasan intelektual atau IQ, dalam konteks ini dikenal sebuah tes yang biasa disebut dengan psikotest untuk mengetahui tingkat IQ seseorang, akan tetapi test tersebut juga tidak dapat secara mutlak dinyatakan sebagai salah satu identitas dirinya karena tingkat intelektual seseorang selalu dapat berubah berdasarkan usia mental dan usia kronologisnya.
                 Pada tahun 1904, Alfred Binet dan Theodor Simon, 2 orang psikolog asal Perancis merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus (anak-anak yang kurang pandai). Alat tes itu dinamakan Tes Binet-Simon. Tes ini kemudian direvisi pada tahun 1911.
                 Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika mengadakan banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara mental age dan chronological age. Hasil perbaikan ini disebut Tes Stanford_Binet. Indeks seperti ini sebetulnya telah diperkenalkan oleh seorang psikolog Jerman yang bernama William Stern, yang kemudian dikenal dengan Intelligence Quotient atau IQ. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.
                 Salah satu reaksi atas tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet adalah bahwa tes itu terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang ini, Charles Sperrman mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum saja (general factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik. Teori ini disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence). Alat tes yang dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children) untuk anak-anak.
PENGUKURAN / KLASIFIKASI IQ
• Very Superior : 130 –
• Superior : 120 – 129
• Bright normal : 110 – 119
• Average : 90 – 109
• Dull Normal : 80 – 89
• Borderline : 70 – 79
• Mental Defective : 69 and bellow

                 Sedangkan untuk kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ), hingga saat ini belum ada alat yang dpat mengukurnya dengan jelas karena dua kecerdasan tersebut bersifat kualitatif bukan kuantitatif.
                 Seperti halnya dengan alat ukur kecerdasan, indikator orang yang memilki IQ, EQ dan SQ juga tidak ada ketetuan yang jelas, sehingga untuk mengetahui seseorang tersebut memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual biasanya dilihat dari hal-hal yang biasanya ada pada orang yang memiliki IQ, EQ dan SQ tinggi dan dilihat berdasarkan kompone dari klasifikasi kecerdasan tersebut.
                 Orang yang memiliki kecerdasan intelektual (IQ) yang cukup tinggi dapat dilihat selain dari hasil tes, dapat terlihat juga bawa biasanya orang tersebut memiliki kemapuan matematis, memiliki kemampuan membayangka ruang, melihat sekeliling secara runtun atau menyeluruh, dapat mencari hubungan antara suatu bentuk dengan bentuk lain, memiliki kemapuan untuk mengenali, menyambung, dan merangkai kata - kata serta mencari hubungan antara satu kata dengan kata yang lainya, dan juga memiliki memori yang cukup bagus.
                 Seseorang dengan kecerdasan emosi (EQ) tinggi diindikatori memiliki hal-hal sebagai berikut :
1.        Sadar diri, pandai mengendalikan diri, dapat dipercaya, dapat beradaptasi
dengan baik dan memiliki jiwa kreatif.
2.        Bisa berempati, mampu memahami perasaan orang lain, bisa mengendaikan
konflik, bisa bekerja sama dalam tim.
3.        Mampu bergaul dan membangun sebuah persahabatan dan dapat mempengaruhi orang lain
Kecerdasan spiritual yang tinggi tidak dapat dilihat dengan mudah karena kembali ke pengertian SQ, yaitu kemampuan seseorang untuk memecahkan persoalan makna dan nilai, untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, serta menilai bahwa jalan hidup yang kita pilih memiliki makna yang lebih daripada yang lain, dari hal tersebut dapat dilihat bahwa kecerdasan spiritual adalah kecakapan yang lebih bersifat pribadi, sehingga semua kembali kepada individu itu sendiri dan kepada hubungannya dengan Sang Pencipta.

KASUS DAN ANALISA

Pelajar merupakan generasi penerus bangsa yang sangat diharapkan dalam perbaikan dan peningkatan kualitas negara dalam segala bidang. Sehingga pelajar sering kali dituntut untuk selalu memiliki mutu yang bagus dalam pendidikannya.
Antara intelektual quality, emosional quality, dan spiritual quality harus dalam porsi yang seimbang. Pelajar tidak hanya dituntut memiliki intelektual yang tinggi, mereka juga harus mempunyai kemampuan mengendalikan diri yang baik dan mampu membangun dirinya secara utuh. Apabila ke 3 hal tersebut dijalankan bersama, maka akan terbentuk generasi sukses yang berkualitas.
Dalam GBHN tertera bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk manusia yang utuh. Maksudnya meliputi berbagai aspek tidak hanya  intelektual. Tapi juga emosional dan spiritual. Namun, kenyataannya pendidikan pada masa ini hanya menjadikan peserta didik pandai dari segi nalar. Sehingga banyak lulusan sekolah yang rapuh sehingga tidak mampu menghadapi problematika kehidupan. Salah satunya dapat dilihat dari pelaksanaan UN yang penuh dengan kecurangan.
Menanggapi berbagai macam pendapat dan alasan mengenai kecurangan UN, marilah kita berkaca pada pengalaman yang lama, semenjak sistem UN berjalan dan dengan segala perubahannya sampai saat ini, Sistem UN sudah berjalan dengan baik dan benar, tidak menyalahkan sistem, tetapi bagaimana dengan pelaksana atau pelaku sistem sendiri tidak siap dengan kegagalan proses.
Bagaimanapun membiarkan, mengajak, melakukan ataupun memerintahkan kecurangan dalam pelaksanaan UN sama halnya dengan menggali kuburnya sendiri bagi dunia pendidikan. Karena jika kita terlibat dalam berbagai bentuk kecurangan itu artinya kita telah memberi teladan buruk kepada generasi penerus bangsa ini. Dapat dibayangkan apa yang terjadi di masa yang akan datang.
Adalah suatu hal yang tak dapat dipungkiri bahwa, dunia pendidikan pun saat ini tak luput dari berbagai kecurangan. “Ini fakta, ini nyata dan ada di sekitar kita”. Salah satu contoh kecil saja adalah pelaksanaan UN yang setiap tahun dilaksanakan di setiap jenjang pendidikan, meskipun kita semua sudah berkomitmen untuk merahasiakan dokumen negara tersebut, toh di sana-sini masih terdapat kecurangan.
Tapi lihat, masihkah moralitas itu dalam realitasnya masih kita pegang, ketika kecurangan dalam UN berjalan secara sistemik di beberapa daerah. Mutu pendidikan tidak akan meningkat. Sebab yang diutamakan adalah kuantitas tamatan, bukan kualitas. Yang sudah menjadi rahasia umum dikalangan pendidikan. Pembodohan terhadap peserta didik ( membantu siswa dengan tidak jujur ) dan pembohongan kepada masyarakat ( pencapaian nilai yang direkayasa ).
Sangat terlihat jelas betapa tidak seimbangnya peran IQ, EQ dan ESQ membawa dampak negatif yang sangat luas terhadap penyelenggaraan pembelajaran dan berdampak pada perkembangan siswa dan kualitas pendidikan kita.
Jika kecurangan UN masih terus berjalan, maka dengan sendirinya kualitas pendidikan kita akan cenderung sulit meningkat. UN yang diharapkan sebagai ukuran bagi keberhasilan pendidikan kita, ternyata dipenuhi dengan praktik ketidakbenaran. Dan praktik kecurangan seperti ini menjadi wujud pembohongan terhadap hakikat pendidikan yang semakin terlembaga. Oleh karena itu, praktik kecurangan tersebut akhirnya membuat pelaksanaan UN pada tahun 2008 menuai kecacatan.
Dunia pendidikan kita memerlukan tindakan penyelamatan serius. Jika tidak, ‘produknya’ akan lebih banyak orang-orang tidak berkualitas untuk tidak mengatakan ‘sampah’. Pasalnya, hampir semua elemen yang terlibat di dalamnya, termasuk para pendidik, lebih mementingkan hasil akhir dari pada proses.
Pendidikan sekolah bukan lagi satu-satunya tumpuan keberhasilan seseorang dalam meraih kebahagiaan. Sistem pendidikan yang dikenal selama ini hanya menekankan pada nilai akademik, kecerdasan otak saja. Siswa dituntut belajar mulai sekolah dasar hingga perguruan tinggi sekedar supaya memeroleh nilai bagus yang dapat dijadikan bekal mencari pekerjaan.
Kecerdasan IQ ditengarai tidak berjalan seimbang dengan dua kecerdasan lainnya, yakni kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual. Di sisi lain, dijumpai kekerasan dan penyimpangan perilaku. Keahlian dan pengetahuan saja tidaklah cukup, perlu ada pengembangan kecerdasan emosi, seperti inisiatif, optimis, kemampuan beradaptasi.
Sekolah merupakan pendidikan formal yang mengasah kemampuan otak. Siswa belajar, supaya bisa membaca menulis dan berhitung. Selama ini, masyarakat hanya mendewakan pencapaian kecerdasan intelektual, yang berhubungan dengan kemampuan menghafal, nalar, dan logika. Pendidikan dengan pola demikian, hanya akan menghasilkan seseorang yang berdasar intelektual komitmen yang hanya menyangkut hal-hal yang bersifat fisik atau materi, contohnya, pelajar yang hanya ingin memeroleh nilai tinggi saat ujian, termasuk menghalalkan segala cara supaya mendapat nilai baik dengan mencontek pekerjaan teman. Ini adalah dampak dari dunia pendidikan yang hanya mementingkan IQ dan mengenyampingkan EQ dan ESQ.
Melihat berbagai fakta yang terjadi, begitu fatalnya akibat dari dunia pendidikan yang hanya mementingkan IQ dan mengenyampingkan EQ dan ESQ. Maka cara yang harus kita lakukan adalah tidak perlu pesimis tetapi tinggal memperbaikinya saja. Teori memperbaikinya mudah, tetapi prakteknya membutuhkan kesabaran, ketelatenan dan harus mau menyisihkan waktu guna memperhatikan, mendampingi dan membimbing anak didik kita.
Pengembangan kecerdasan anak hendaknya dilakukan sedini mungkin. Selama ini banyak orang menganggap bahwa jika seseorang memiliki tingkat kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi, maka orang tersebut memiliki peluang untuk meraih kesuksesan yang lebih besar di banding orang lain. Pada kenyataannya, ada banyak kasus di mana seseorang yang memiliki tingkat kecerdasan intelektual yang tinggi tersisih dari orang lain yang tingkat kecerdasan intelektualnya lebih rendah. Ternyata IQ yang tinggi tidak menjamin seseorang akan meraih kesuksesan.






DAFTAR PUSTAKA
Sukardi, Dewa Ketut. 1990. Analisis Tes Psikologis. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Suryabrata. Sumadi. 2000. Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Yogyakarta : Adi Yogyakarta

No comments:

Post a Comment