INTELLEGENCE EMOTIONAL SPIRITUAL QUOTIEN
DISUSUN OLEH
Nama :
SEA PARADISE
NIM :
C1013071
KELAS 1B S1 ILMU KEPERAWATAN
MATA KULIAH : IKD II (PSIKOLOGI PENGEMBANGAN)
DOSEN PEMBIMBING : ESSY PRAVIRA
STIKES BHAKTI MANDALA HUSADA SLAWI
Jl. Cut Nyak Dien Kalisapu slawi Kab. Tegal
Telp.(0283) 6197570,6197571
TAHUN 2013 / 2014
MIND MAPPING
KECERDASAN INTELEKTUAL (IQ)
A.
DEFINISI
Kecerdasan intelektual atau IQ mula-mula
diperkenalkan oleh Alfred Binet, ahli psikologi dari Perancis pada awal abad ke
– 20.
Pengertian kecerdasan intelektual (IQ)
menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut :
1.
Sorenson
(1977) : Kecerdasan interlektual (IQ) adalah kemampuan untuk berpikir
abstrak, belajar merespon, dan kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan.
2.
Stern
(1953) : Kecerdasan intelektual (IQ) adalah daya menyesuaikan diri
dengan keadaan baru dengan menggunakan alat-alat berpikir menurut
tujuannya.
3.
Binet : mengatakan bahwa intelegensi adalah kemampuan untuk menetapkan dan
mempertahankan suatu tujuan, untuk mengadakan penyesuaian dalam rangka mencapai
tujuan itu dan untuk bersikap kritis terhadap diri sendiri.
4.
Thorndike
: “Intelegence is demonstrable in ability of the individual to make good
responses from the stand point of truch of fact“. Orang dianggap memiliki
kecerdasan intelektual apabila responnya merupakan respon yang baik atau sesuai
terhadap stimulus yang diterimanya.
5.
Freeman
(1959) : Kecerdasan intelektual dipandang sebagai capacity to integrate
experiences, capacity to learn, capacity to perform tasks regarded by
psychologist as intellectual and capacity to carry on abstract thinking.
Orang yang memiliki kecerdasana intelektual adalah orang yang memiliki
kemampuan untuk menyatukan pengalaman-pengalaman, kemampuan untuk belajar
dengan lebih baik, kemampuan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang sulit dengan
memperhatikan aspek psikologis dan intelektual dan kemampuan untuk berpikir
abstrak.
B.
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
1.
Pengaruh
faktor bawaan
Banyaknya penelitian yang menunjukkan bahwa individu-individu yang berasal
dari satu keluarga atau bersanak saudara, nilai dalam tes IQ mereka berkorelasi
tinggi (+ 0,50), orang yang lembar (+ 0,90), yang tidak bersanak saudara (+
0,20), anak yang di adopsi korelasi dengan orang tua angkatnya (+ 0,10 – +
0,20).
2.
Pengaruh
faktor lingkungan
Perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh gizi yang di konsumsi oleh karena
itu ada hubungan antara pemberian makanan bergizi IQ seseorang.
3.
Stabilitasi
kecerdasan Intelektual (IQ)
Stabilitasi IQ tergantung perkembangan organik otak.
4.
Pengaruh
faktor kematangan
Tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Tiap
organ (fisik maupun psikis) dapat dikatakan telah matang jika ia telah mencapai
kesanggupan menjalankan fungsinya.
5.
Pengaruh
faktor pembentukan
Pembentukan ialah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi
perkembangan IQ.
6.
Minat
dan pembawaan yang khas
Minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi
perbuatan itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan-dorongan (motif-motif)
yang mendorong manusia untuk berinteraksi dengan dunia luar.
7.
Kebebasan
Kebebasan
berarti bahwa manusia itu dapat memilih metode-metode yang tertentu dalam
memecahkan masalah-masalah. Manusia mempunyai kebebasan memilih metode, juga
bebas dalam memilih masalah sesuai dengan kebutuhannya.
KECERDASAN EMOSIONAL (EQ)
A.
DEFINISI
Daniel Goleman (1999) adalah salah seorag yang mempopulerkan
jenis kecerdasan manusia lainnya yang dianggap sebagai faktor penting yang
dapat mempengaruhi terhadap prestasi seseorang, yaki kecerdasan emosional, yang
kemudian kita mengenalnya dengan sebulan emosional Quotient (EQ). Goleman
mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan
kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan
kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan
dnegan orang lain.
Para pakar memberikan definisi beragam pada EQ, diantaranya
adalah kemampuan untuk menyikapi pengetahuan-pengetahuan emosional dalam bentuk
menerima, memahami, dan mengelolanya.
Menurut definisi ini, EQ mempunyai empat dimensi berikut :
1.
Mengenal,
menerima dan mengekspresikan emosi (kefasihan emosional) caranya mampu
membedakan emosi orang lain, bentuk dan tulisan baik melalui suara, ekspresi
wajah dan tingkah laku.
2.
Menyertakan
emosi dalam kerja-kerja intelektual. Caranya perubahan emosi bisa mengubah
sikap optimis menjadi pesimis. Terkadang emosi mendorong manusia untuk menerima
pandangan dan pendapat yang beragam.
3.
Memahami
dan menganalisa emosi. Mampu mengetahui perubahan dari satu emosi ke emosi lain
seperti berubahnya dari emosi marah menjadi rela atau lega.
4.
Mengelola
emosi. Mampu mengelola emosi sendiri atau orang lain dengan cara meringankan
emosi negatif dan memperkuat emosi positif. Hal ini dilakukan denga tapa
menyembuhkan informasi yang disampaikan oleh emosi-emosi ini dan tidak
berlebihan.
B.
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
Kecerdasan
emosional bawaan bisa berkembag atau rusak, hal ini tergantung pada pengaruh
yang diperoleh anak dimana kecil atau remaja. Pengaruh ini bisa datang dari
orang tua, keluarga atau sekolah. Anak melalui hidupnya dengan potensi yang
baik untuk perkembangan emosinya, hanya saja pengalaman emosi yang dialaminya
di lingkungan anarkis atau tidak bersahabat menyebabkan grafik perkembangan
EQnya menurun. Sebaliknya, bisa saja seorang anak mempunyai EQ bawaan yang
rendah, namun Eqnya ini bisa berkembang dengan baik, jika ia dididik dengan
baik melalui pengalaman-pengalaman emosional yang ramah dan bersahabat.
Perilaku emosi cerdas yang diperlihatkan lingkungannya menyebabkan grafik Eqya
menjadi tinggi.
KECERDASAN SPIRITUAL EMOSIONAL (SQ)
A.
DEFINISI
Zakiah Darajat (1970), pengalaman keagamaan (Religious Experience)
merupakan pandangan bahwa sehebat apapun manusia dengan kecerdasan intelektual maupun
kecerdasan emosionalnyan, pada saat-saat tertentu, melalui pertimbangan fungsi
afektif, kognitif, dan konatifnya manusia akan menyakini dan menerima tanpa
keraguan bahwa diluar dirinya ada sesuatu kekuatan yang maha Agung yang melebihi
apapun, termasuk dirinya.
Brightman (1956) menjelaskan bahwa penghayatan keagamaan tidak hanya sampai
kepada pengakuan atas keberadaan-Nya, namun juga mengaku-Nya sebagai sumber
nilai-nilai luhur yang abadi yang mengatur tata kehidupan alam semesta raya
ini. Oleh karena itu, manusia akan tunduk dan berupaya untuk mematuhinya dengan
penuh kesadaran dan disertai penyerahan diri dalam bentuk ritual tertentu, baik
secara individual maupun kolektif, secara simbodik maupun dalam bentuk nyata
kehidupan sehari-hari.
Temua ilmiah yang digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, dan riset yang
dilakukan oleh Mishael Persinger pada tahun 1990-an, serta riset yang
dikembangkan oleh V.S Ramachandran pada tahun 1997 menemukan adanya God Spot
dalam otak manusia, yang sudah secara built-in merupakan pusat spiritual yang
terletak diantara jaringan syaraf dan otak. Pada God Spot inilah sebenarnya
terdapat fitrah manusia yang terdalam. Kajian tentang God Spot inilah pada
gilirannya melahirkan konsep kecerdasan spiritual, yakni suatu kemampuan
manusia yang berkenaan dengan usaha memberikan penghayatan bagaimana agar hidup
ini lebih bermakna. Dengan istilah yang disebut Spiritual Quotient (SQ).
Kecerdasan Spiritual (SQ) adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan
makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita
dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya kecerdasan untuk menilai bahwa
tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan
yang lain.
B.
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
Kecerdasan
spiritual (SQ) secara umum dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu keyakinan dalam
diri, potensi diri, dan kemauan dari diri tersebut. Selain faktor-faktor
tersebut peran keluarga dalam membentuk dan meningkatkan serta membina
kecerdasan spiritual ini sangat dibutuhkan. Apa yang keluarga tunjukan setiap
harinya akan membentuk pribadi anak tersebut. Kondisi yang mendukung seorang
anak dalam keluarga akan membuat kecerdasan spiritualnya terbentuk dan terbina
dengan baik.
INDIKATOR
DAN ALAT UKUR IQ, EQ DAN SQ.
Berdasarkan pengalaman, tidak
ada indikator dan alat ukur yang jelas untuk mengukur atau menilai kecerdasan setiap individu, kecuali untuk kecerdasan intelektual atau IQ, dalam konteks ini dikenal sebuah tes
yang biasa disebut dengan psikotest
untuk mengetahui tingkat IQ seseorang, akan tetapi test tersebut juga tidak dapat secara mutlak dinyatakan sebagai salah satu
identitas dirinya karena tingkat intelektual
seseorang selalu dapat berubah berdasarkan usia mental dan usia kronologisnya.
Pada tahun 1904, Alfred
Binet dan Theodor Simon, 2 orang psikolog asal
Perancis merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk
mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus (anak-anak yang
kurang pandai). Alat tes itu dinamakan Tes Binet-Simon. Tes
ini kemudian direvisi pada tahun 1911.
Tahun 1916, Lewis
Terman, seorang psikolog dari Amerika mengadakan banyak perbaikan dari
tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah menetapkan indeks numerik yang
menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara mental age dan
chronological age. Hasil perbaikan ini disebut Tes Stanford_Binet.
Indeks seperti ini sebetulnya telah diperkenalkan oleh seorang psikolog Jerman
yang bernama William Stern, yang kemudian dikenal dengan Intelligence
Quotient atau IQ. Tes Stanford-Binet ini banyak
digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.
Salah satu reaksi atas tes
Binet-Simon atau tes Stanford-Binet adalah bahwa tes itu terlalu umum. Seorang
tokoh dalam bidang ini, Charles Sperrman mengemukakan bahwa
inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum saja (general
factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik. Teori ini
disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence). Alat tes
yang dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult
Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler
Intelligence Scale for Children) untuk anak-anak.
PENGUKURAN / KLASIFIKASI IQ
• Very Superior : 130 – • Superior : 120 – 129 • Bright normal : 110 – 119 • Average : 90 – 109 • Dull Normal : 80 – 89 • Borderline : 70 – 79 • Mental Defective : 69 and bellow |
Sedangkan
untuk kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ), hingga saat ini belum ada alat yang dpat mengukurnya dengan
jelas karena dua kecerdasan tersebut bersifat
kualitatif bukan kuantitatif.
Seperti
halnya dengan alat ukur kecerdasan, indikator orang yang memilki IQ, EQ dan SQ juga tidak ada ketetuan yang jelas, sehingga
untuk mengetahui seseorang tersebut
memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual biasanya dilihat dari hal-hal yang biasanya ada
pada orang yang memiliki IQ, EQ dan SQ
tinggi dan dilihat berdasarkan kompone dari klasifikasi kecerdasan tersebut.
Orang yang
memiliki kecerdasan intelektual (IQ) yang cukup tinggi dapat dilihat selain dari hasil tes, dapat terlihat juga bawa biasanya
orang tersebut memiliki kemapuan
matematis, memiliki kemampuan membayangka ruang, melihat sekeliling secara runtun atau menyeluruh, dapat mencari hubungan
antara suatu bentuk dengan bentuk lain,
memiliki kemapuan untuk mengenali, menyambung, dan merangkai kata - kata serta mencari hubungan antara satu kata dengan kata yang
lainya, dan juga memiliki
memori yang cukup bagus.
Seseorang
dengan kecerdasan emosi (EQ) tinggi diindikatori memiliki hal-hal sebagai berikut :
1.
Sadar diri, pandai mengendalikan diri, dapat
dipercaya, dapat beradaptasi
dengan baik dan memiliki jiwa kreatif.
2.
Bisa berempati, mampu memahami perasaan orang
lain, bisa mengendaikan
konflik, bisa bekerja sama dalam tim.
3.
Mampu bergaul dan membangun sebuah
persahabatan dan dapat mempengaruhi orang lain
Kecerdasan spiritual yang tinggi tidak dapat dilihat
dengan mudah karena kembali ke pengertian SQ, yaitu kemampuan seseorang untuk
memecahkan persoalan makna dan nilai, untuk menempatkan perilaku dan hidup kita
dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, serta menilai bahwa jalan hidup
yang kita pilih memiliki makna yang lebih daripada yang lain, dari hal tersebut
dapat dilihat bahwa kecerdasan spiritual adalah kecakapan yang lebih bersifat
pribadi, sehingga semua kembali kepada individu itu sendiri dan kepada
hubungannya dengan Sang Pencipta.
KASUS DAN ANALISA
Pelajar merupakan generasi penerus bangsa yang sangat
diharapkan dalam perbaikan dan peningkatan kualitas negara dalam segala bidang.
Sehingga pelajar sering kali dituntut untuk selalu memiliki mutu yang bagus
dalam pendidikannya.
Antara intelektual quality,
emosional quality, dan spiritual quality harus dalam porsi yang seimbang.
Pelajar tidak hanya dituntut memiliki intelektual yang tinggi, mereka juga
harus mempunyai kemampuan mengendalikan diri yang baik dan mampu membangun
dirinya secara utuh. Apabila ke 3 hal tersebut dijalankan bersama, maka akan
terbentuk generasi sukses yang berkualitas.
Dalam GBHN tertera bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk
manusia yang utuh. Maksudnya meliputi berbagai aspek tidak hanya
intelektual. Tapi juga emosional dan spiritual. Namun, kenyataannya pendidikan
pada masa ini hanya menjadikan peserta didik pandai dari segi nalar. Sehingga
banyak lulusan sekolah yang rapuh sehingga tidak mampu menghadapi problematika
kehidupan. Salah satunya dapat dilihat dari pelaksanaan UN yang penuh dengan
kecurangan.
Menanggapi berbagai macam pendapat dan alasan mengenai
kecurangan UN, marilah kita berkaca pada pengalaman yang lama, semenjak sistem
UN berjalan dan dengan segala perubahannya sampai saat ini, Sistem UN sudah
berjalan dengan baik dan benar, tidak menyalahkan sistem, tetapi bagaimana
dengan pelaksana atau pelaku sistem sendiri tidak siap dengan kegagalan proses.
Bagaimanapun membiarkan, mengajak, melakukan ataupun memerintahkan
kecurangan dalam pelaksanaan UN sama halnya dengan menggali kuburnya sendiri
bagi dunia pendidikan. Karena jika kita terlibat dalam berbagai bentuk
kecurangan itu artinya kita telah memberi teladan buruk kepada generasi penerus
bangsa ini. Dapat dibayangkan apa yang terjadi di masa yang akan datang.
Adalah suatu hal yang tak dapat dipungkiri bahwa, dunia
pendidikan pun saat ini tak luput dari berbagai kecurangan. “Ini fakta, ini
nyata dan ada di sekitar kita”. Salah satu contoh kecil saja adalah
pelaksanaan UN yang setiap tahun dilaksanakan di setiap jenjang pendidikan,
meskipun kita semua sudah berkomitmen untuk merahasiakan dokumen negara
tersebut, toh di sana-sini masih terdapat kecurangan.
Tapi lihat, masihkah moralitas itu dalam realitasnya masih
kita pegang, ketika kecurangan dalam UN berjalan secara sistemik di beberapa
daerah. Mutu pendidikan tidak akan meningkat. Sebab yang diutamakan adalah
kuantitas tamatan, bukan kualitas. Yang sudah menjadi rahasia umum dikalangan
pendidikan. Pembodohan terhadap peserta didik ( membantu siswa dengan tidak
jujur ) dan pembohongan kepada masyarakat ( pencapaian nilai yang direkayasa ).
Sangat terlihat jelas betapa tidak seimbangnya peran IQ, EQ
dan ESQ membawa dampak negatif yang sangat luas terhadap penyelenggaraan
pembelajaran dan berdampak pada perkembangan siswa dan kualitas pendidikan
kita.
Jika kecurangan UN masih terus berjalan, maka dengan
sendirinya kualitas pendidikan kita akan cenderung sulit meningkat. UN yang
diharapkan sebagai ukuran bagi keberhasilan pendidikan kita, ternyata dipenuhi
dengan praktik ketidakbenaran. Dan praktik kecurangan seperti ini menjadi wujud
pembohongan terhadap hakikat pendidikan yang semakin terlembaga. Oleh karena
itu, praktik kecurangan tersebut akhirnya membuat pelaksanaan UN pada tahun
2008 menuai kecacatan.
Dunia pendidikan kita memerlukan tindakan penyelamatan serius.
Jika tidak, ‘produknya’ akan lebih banyak orang-orang tidak berkualitas untuk
tidak mengatakan ‘sampah’. Pasalnya, hampir semua elemen yang terlibat di
dalamnya, termasuk para pendidik, lebih mementingkan hasil akhir dari pada
proses.
Pendidikan sekolah bukan lagi satu-satunya tumpuan
keberhasilan seseorang dalam meraih kebahagiaan. Sistem pendidikan yang dikenal
selama ini hanya menekankan pada nilai akademik, kecerdasan otak saja. Siswa
dituntut belajar mulai sekolah dasar hingga perguruan tinggi sekedar supaya
memeroleh nilai bagus yang dapat dijadikan bekal mencari pekerjaan.
Kecerdasan IQ ditengarai tidak berjalan seimbang dengan dua kecerdasan lainnya, yakni kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual. Di sisi lain, dijumpai kekerasan dan penyimpangan perilaku. Keahlian dan pengetahuan saja tidaklah cukup, perlu ada pengembangan kecerdasan emosi, seperti inisiatif, optimis, kemampuan beradaptasi.
Kecerdasan IQ ditengarai tidak berjalan seimbang dengan dua kecerdasan lainnya, yakni kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual. Di sisi lain, dijumpai kekerasan dan penyimpangan perilaku. Keahlian dan pengetahuan saja tidaklah cukup, perlu ada pengembangan kecerdasan emosi, seperti inisiatif, optimis, kemampuan beradaptasi.
Sekolah merupakan pendidikan formal yang mengasah kemampuan
otak. Siswa belajar, supaya bisa membaca menulis dan berhitung. Selama ini,
masyarakat hanya mendewakan pencapaian kecerdasan intelektual, yang berhubungan
dengan kemampuan menghafal, nalar, dan logika. Pendidikan dengan pola demikian,
hanya akan menghasilkan seseorang yang berdasar intelektual komitmen yang hanya
menyangkut hal-hal yang bersifat fisik atau materi, contohnya, pelajar yang
hanya ingin memeroleh nilai tinggi saat ujian, termasuk menghalalkan segala
cara supaya mendapat nilai baik dengan mencontek pekerjaan teman. Ini adalah
dampak dari dunia pendidikan yang hanya mementingkan IQ dan mengenyampingkan EQ
dan ESQ.
Melihat berbagai fakta yang terjadi, begitu fatalnya akibat
dari dunia pendidikan yang hanya mementingkan IQ dan mengenyampingkan EQ dan
ESQ. Maka cara yang harus kita lakukan adalah tidak perlu pesimis tetapi
tinggal memperbaikinya saja. Teori memperbaikinya mudah, tetapi prakteknya
membutuhkan kesabaran, ketelatenan dan harus mau menyisihkan waktu guna
memperhatikan, mendampingi dan membimbing anak didik kita.
Pengembangan kecerdasan anak hendaknya dilakukan sedini
mungkin. Selama ini banyak orang menganggap bahwa jika seseorang memiliki
tingkat kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi, maka orang tersebut memiliki
peluang untuk meraih kesuksesan yang lebih besar di banding orang lain. Pada
kenyataannya, ada banyak kasus di mana seseorang yang memiliki tingkat
kecerdasan intelektual yang tinggi tersisih dari orang lain yang tingkat
kecerdasan intelektualnya lebih rendah. Ternyata IQ yang tinggi tidak menjamin
seseorang akan meraih kesuksesan.
DAFTAR PUSTAKA
Sukardi,
Dewa Ketut. 1990. Analisis Tes Psikologis. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Suryabrata.
Sumadi. 2000. Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Yogyakarta : Adi
Yogyakarta